Perjalanan Mati Rasa


 Sudah 2 tahun perjalanan mati rasa ini belum berakhir. Sang surya ikut bercerita tentang catatan kelam kala itu. Seorang wanita yang menggenggam asa di tengah badai biduk rumah tangganya. 

Cerita dibalik  tanya ini adalah sebuah pergulatan batin tokoh utamanya. Tidak ada yang tahu kapan akan berakhir. Apakah related denganmu? Simak ceritanya:

Hai Namaku Dena. Usiaku menginjak 40 tahun. Aku adalah ibu dari dua buah hati. Setiap hari aku bermimpi bertemu dengan rumah impian dan aku ingin menjemput secercah harapan.

Aku tak pernah mengalami peristiwa pahit kecuali hari di mana aku telah dewasa. Peristiwa yang tak pernah aku duga. Kupikir dapat berjuang bersama untuk membangun mahligai rumah tangga, nyatanya tidak semudah itu.

Hal yang tidak aku miliki saat ini, tapi orang lain punya. Bukan sebuah kekayaan atau berlian. Namun, Biduk rumah tangga yang bahagia. Aku tahu kalau saat ini  aku tidak boleh iri dengan potret pasutri lain yang tersenyum bahagia dengan pernikahan mereka. 

Sekalipun aku tidak menyesal berada dalam takdir ini. Aku tetap tabah menerima semua cobaan. Meskipun, aku dijadikan boneka. Ya, hanya sebagai pajangan saja.

Aku terbelenggu oleh keadaan ini. Mau pisah anak jadi taruhannya, tidak mungkin aku minta cerai karena anak adalah hartaku. Pisah hanya akan membuat diriku hancur. Jadi, aku pilih tetap lanjut meskipun terasa hambar hidup dengan orang asing.

Kadang aku merasa dibuang dan tidak diperlakukan dengan baik. Sebagai wanita, aku terluka. Jangankan disentuh, didekati saja dia pergi. Mau ngobrol saja canggung. Mau bercanda, takut. 

Jangan tanya, bicara apa. Dia  pelit bicara. Namun, satu kali dia marah maka, keluar dari mulutnya kata- kata kasar.

Mimpiku saat awal menikah, bisa hidup bahagia, tapi ternyata tidak. Ya, inilah takdir. Namun, hidup ini hanya satu kali. Tidak boleh disesali. Aku harus legowo, bahkan aku persilahkan jika dia ingin pergi, aku tidak peduli. Toh, suatu saat nanti meskipun hidup tanpanya, aku yakin hidup ini akan tetap berjalan. 

Ada Allah yang menjamin, aku tidak takut hidup melarat. Hidupku yang sekarang sudah biasa kujalani dengan sederhana. Aku tidak takut sendiri. Aku memang sudah tua. Hal yang ingin aku wujudkan adalah beribadah ke Baitullah. Aku ingin pulang menghadap Allah dalam keadaan sudah berhaji. Aku tidak peduli apapun yang terjadi. 

Hal-hal yang dilakukan suami dan istri pada umumnya tidak pernah kami lakukan. Semua seperti hambar. Tidak ada perayaan apapun. Tepatnya mati rasa. Ya, semua itu terjadi ketika aku sudah lelah menjalani hidup seperti pengemis yang terus memaksa dan minta untuk disayangi.

Aku perempuan yang punya harga diri. Aku tidak mau lagi mengotori hatiku dengan luka. Aku tidak mau disakiti, sehingga aku tidak akan membiarkan diriku memaksa orang lain mencintai di tengah kekuranganku.

Cukup. Aku tidak mau hidup dalam penyesalan. Nasi sudah menjadi bubur. Aku terima dengan ikhlas. Apapun yang menjadi kekuranganku, tidak aku jadikan masalah yang membuatku lebih hancur dan rusak karena aku layak untuk dihargai dan dicintai. Meskipun bukan dari suami, tapi dari orang lain.

Aku ingin tetap semangat untuk menjalani sisa hidup ini dengan ikhlas. Aku menyayangi diriku sendiri dan tidak akan kubiarkan satu orang pun menyakiti.

"Hidup adalah tentang perjuangan sabar. Berani melangkah bukan berarti kalah, tapi menjalani proses meskipun tak mudah."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review film When gives you tangerines

Jurnal Harian Mereguk Ilmu

Jangan Melakukan Tindak KDRT Psikis Bila Tidak Mau Kena Sanksi Hukum