Berbeda, Tapi Satu

 


Pada hari Minggu pagi yang cerah sang surya mulai naik dari peraduan. Seluruh masyarakat Desa Batu Raja sedang sibuk bergotong royong membersihkan lingkungan. Mereka saling membantu satu sama lain membersihkan got, membakar sampah, dan merapikan jalan yang sering tergenang air saat hujan datang. 

Sementara aku hanya lesu memandangi semua orang yang tengah sibuk bergotong royong.  

“Hei, Salsa, jangan melamun saja. Bantulah beta, sini.” Johan memanggilku seraya menyerahkan sapu lidi. 

“Alah, kerjakan saja sendiri jangan manja. Kulit ente yang legam itu memang cocok kalau kerja di lapangan panas begini, kalau aye nanti bisa melepuh,” ucapku judes.

“Ish, jangan berkata seperti itu. Orang cantik seharusnya hatinya juga cantik, dong. Kenapa kamu terlihat macam sapi galak begitu.” Johan mulai berisik. Dia menggangguku yang sejak tadi asyik melamun.

“Hey, jangan panggil aye seperti itu, ya. Babe aye ini juragan kontrakan, kalau situ panggil aye sapi galak nanti aye ngadu ke babe. Biar utang nyokap lu ditagih, lu mau emangnya.” Aku menakut-nakuti Johan. 

“Aduh jangan, dong. Kalau begitu beta minta maaf, deh. Mending kamu cari tempat yang adem dan nyaman daripada di lapangan panas gini. Beta khawatir kulit kamu tambah hitam nanti kena sengatan matahari.” Johan membalasku.  

“Aye udah biasa latihan silat, jadi kaga ngapah kalau panas. Lu nggak perlu muji aye.” Darahku mulai mendidih. Si Johan malah tambah berisik. 

“Beta heran kenapa si Aylin di sekolah kita mau temenan sama kamu yang galak gini,” singgung Johan.

Aku berdiri bangkit dari tempat duduk dan ingin kabur dari tempat itu karena si Johan mulai memancing emosi.

“Udah, jangan sebut-sebut nama dia. Persahabatan aye sama die udah putus, gara-gara die, aye jadi sering dibully sama teman-teman di kelas.”

“Ish, orang macam apa kamu, nih. Sama temen berantem, apalagi sama adek kamu juga begitu. Apa nggak capek berantem terus?” tanya Johan heran.

“Eh, pokoknya situ nggak usah ikut campur sama urusan aye. Sekarang aye mau pulang. Aye kesini pan cuma mau nganterin rantang doang, buat ente semua supaya bisa makan rame-rame pas istirahat.” Ucapku sambil melengos pergi.

“Wah, sapi galak ternyata berhati baik. Terima kasih Salsa tahu aja, kalau beta sudah lapar.” 

***

Siang ini pikiranku memang lagi kusut. Apalagi saat si Johan menyebut nama Aylin, cewek indo yang dipuja teman sekelasku. Dia juga menyebut nama adikku si Sinta. Huft! Semakin kesal saja perasaanku tadi. Kadang aku berpikir, kenapa Tuhan menciptakan perempuan cantik, sedangkan aku nggak.

 Udah kulitku hitam, tampangku pas-pasan, dan aku terlahir sebagai gadis tomboy. Berbanding terbalik dengan adekku Sinta. Parasnya ayu, kulitnya putih bersinar, dan feminim. Padahal, kami terlahir dari rahim yang sama. Namun, kami sangat jauh berbeda.

Semua pikiran negatif itu, menjadi beban yang selalu aku bawa kemana pun. Sehingga aku kelihatan judes pada setiap orang, padahal sebenarnya tidak. Aku hanyalah gadis yang insecure dan merasa cemas bila dibanding-bandingkan.

***

Hari ini menjadi ujian berat dalam hidupku karena aku dicalonkan menjadi ketua OSIS oleh Wali kelasku. Aku bersaing dengan primadona sekolah ini yang dulunya juga sahabat dekatku. Ya, dialah Aylin. Gadis berambut panjang semampai yang berkulit putih. Belum lama persahabatan kami mulai retak karena masalah bullying dan sekarang sepertinya benar-benar retak karena dia sudah berubah. Dia bukan Aylin yang ramah, tapi sekarang dia sangat sombong. Semenjak menjadi Ketua kelas.

Bukannya aku iri sama Aylin, tapi aku tidak mau dibanding-bandingkan dengan gadis berdarah tionghoa itu. Selama ini, aku terbiasa menahan diri dan tidak membalas hinaan teman-teman di sekolah. Begitu pun di rumah, emak lebih sayang pada adekku karena wajahnya yang manis, mirip dengan wajah emak sewaktu gadis. 

Aku merasa dinomorduakan dan itu rasanya sakit. Sehingga hari ini aku bertekad untuk melawan rasa insecure dan berusaha tampil percaya diri. Selama ini, cuma Bu Ratna yang selalu memberikan semangat padaku agar aku menjadi diri sendiri dan bangga menjadi diriku. Tanpa semangat darinya, aku tidak punya keinginan untuk mengikuti ajang pemilihan sebagai Ketua OSIS. 

***

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Itu tandanya pemilihan ketua OSIS hampir selesai. Semua siswa telah diabsen supaya bisa memberikan kontribusi suara bagi setiap calon Ketua OSIS. Sementara Sekretaris OSIS yang lama bernama Kak Nara sedang sibuk menghitung perolehan suara. 

Dari hasil perolehan sementara, aku dan Aylin nilainya sama. Banyak siswa yang bilang, kalau mereka memilihku karena aku jago silat, sehingga mereka segan padaku. Namun, ada juga yang berkomentar, mereka ingin memilih Aylin karena pesona kecantikannya.

Aku dan Aylin duduk sejajar. Kami menyaksikan penghitungan akhir ditemani oleh Tim panitia, Wali kelas, dan Pembina OSIS. Sementara jam sebentar lagi menunjukkan pukul 12.00 WIB. Itu artinya pemilihan Ketua OSIS akan segera berakhir.

Aku merasa deg-degan. Keringat dingin mengucur deras di tubuhku, bahkan aku merasa tak ada harapan lagi. Aku pasti akan kalah dan Aylin akan menjadi pemenang. Rasa insecure tiba-tiba datang lagi dan membuatku tersiksa. 

Detik demi detik berlalu begitu cepat. Aku menelan ludah karena merasa panik. Hatiku berdoa, semoga ada satu orang lagi yang datang dan memilihku. Namun, aku hanya bisa pasrah. Saat itu, Bu Ratna berkali-kali melirik jam tangannya. Aku tahu dia pasti sudah bosan menunggu dan ingin segera pulang. 

Waktu tersisa hanya tinggal lima detik, seperti kesepakatan bersama jika tidak ada yang menang, maka kami akan mengadakan pemilihan ulang. Namun, tiba-tiba dari arah depan muncul seorang cowok berkulit hitam. Dia datang dengan tergesa-gesa. Mataku tertuju pada cowok itu dan setelah kuamati ternyata dia adalah Johan. 

“Maaf, Bu Ratna. Tadi beta ijin ke kamar mandi, soalnya sakit perut. Jadi, sekarang baru bisa milih calon Ketua OSIS kita.”

“Ya, tidak apa-apa Johan. Silahkan kamu ambil surat suara ini.” Bu Ratna menyerahkan surat suara berukuran segi empat, lalu Johan melangkah ke bilik suara. Jantungku terasa hampir mau copot, ketika dia menatapku tajam sambil tersenyum. Batinku berbisik, “Sudah pasti Johan tidak memilihku. Dia pasti memilih Aylin. Andaikan saja, waktu itu aku tidak mengatainya hitam, pasti dia akan memilihku.”

Aku menarik napas panjang, saat Johan melangkah pergi. Sepertinya memang tidak ada lagi harapan bagiku. Aku harus rela dikalahkan oleh teman dekatku, tapi saat sudah pasrah, aku terbangun dalam lamunan. Ketika pengumuman dibacakan.

“Hasil akhir dari pemilihan ketua OSIS SMP Taruna sudah kita dapatkan dan yang berhak menjadi Ketua OSIS adalah Saudara Salsa Sakina dari kelas delapan.”

Riuh suara teriakan siswa membuncah hebat. Semua orang yang hadir bertepuk tangan dan memandangku penuh rasa bangga. Aku sungguh terharu dan tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi. Mataku tertuju papan hasil perolehan suara. Hatiku kembali berbisik, “Bagaimana mungkin gadis sederhana sepertiku bisa menjadi Ketua OSIS? Aku tidak percaya ternyata ini nyata.” 

Hari itu Johan menjadi penentu kemenanganku dan aku berhutang budi padanya. Aku merasa malu telah menghinanya. Aylin terlihat kecewa, tapi Bu Ratna langsung menyadarkan kami semua. Dia menyampaikan nasihat sehingga kami semua tersadar bahwa selama ini kami telah salah dalam mengambil sikap.

 “Ibu harap kalian tetap menjaga persahabatan seperti sebelumnya. Jangan ada lagi pertengkaran karena ajang pemilihan OSIS ini bukan untuk uji kelebihan, tapi kita belajar menghargai orang lain serta selalu bersikap baik pada siapapun. Tidak peduli dengan warna kulit agama atau fisik. Setiap orang diberikan kelebihan masing-masing oleh Tuhan. Jadi, meskipun kita berbeda-beda, tapi kita tetap satu tujuan yaitu untuk memajukan sekolah agar menjadi lebih baik.”

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review film When gives you tangerines

Jangan Melakukan Tindak KDRT Psikis Bila Tidak Mau Kena Sanksi Hukum

Berdamai dengan Masa lalu